Sunday, April 16, 2006

Artikel Film Soal "Rumah Pondok Indah"

Mengapa Rumah Pondok Indah Banyak Ditonton Orang?

Sebuah film horor dengan kualitas seadanya ternyata laris ditonton orang. Ini jawabannya.

Oleh Ade Irwansyah

Pertama, ada baiknya Anda membaca sedikit kutipan dari resensi film di tabloid ini soal Rumah Pondok Indah. Di situ tertulis, “...Rumah Pondok Indah tak memberi alasan lebih untuk membuat orang datang berduyun-duyun menonton seperti Jelangkung. Akting pemainnya, sorry to say, masih kelas sinetron. Dibuat-buat alias tidak alami.” Pada ujung paragraf, Bintang menyimpulkan, “Hal-hal seperti ini (maksudnya segala cacat film itu) membuat Rumah Pondok Indah terasa seperti FTV (film televisi) yang diputar di bioskop.”

Rumah Pondok Indah belum dapat penonton sebanyak Jelangkung (1999) dulu yang ditonton sekitar 1,6 juta pasang mata. Namun, hingga pekan ini, setelah 7 minggu diputar di bioskop, Rumah Pondok Indah tak kurang ditonton 625 ribu orang. Buat ukuran sekarang, itu angka fantastis. Di bawahnya, ada Jomblo yang tertinggal jauh dengan 400 ribu penonton. Di bawahnya lagi ada Realita Cinta dan Rock ‘n Roll dengan angka penonton 300 ribu orang. Hingga Bintang mengecek ke situs jaringan bioskop 21 Kamis (13/4) siang kemarin, Rumah Pondok Indah masih tayang di 13 bioskop yang tersebar dari Jabotabek, Bandung, Pekanbaru, Cilegon, Cirebon hingga Batam.

Segala paparan angka di atas jadi bukti kalau apa yang dikatakan resensi film tak selalu seiring sejalan dengan minat penonton. Kekhawatiran kalau sebuah resensi film (yang tujuannya memberi petunjuk buat calon penonton film, untuk menonton atau tidak) bisa membuat sebuah film tak laku rasanya berlebihan. Lihatlah Berbagi Suami, film yang dipuji di hampir semua media itu (Bintang menulis, Berbagi Suami sebuah “... hiburan berisi yang lengkap. Cerita yang baik, skenario yang bagus, dan para pemain yang berakting hampir sempurna wujud keberhasilan Nia sebagai sutradara atas filmnya ini.”) baru ditonton sekitar 200 ribu orang.
Pertanyaannya, kenapa orang berduyun-duyun menonton Rumah Pondok Indah? Bintang bertanya pada Dini (25), seorang guru SD di Jakarta Selatan yang menonton film itu. “Saya nonton film itu diajak teman,” kata Dini. Ia bercerita, menonton Rumah Pondok Indah bersama 5 temannya. “Teman saya dengar dari temannya kalau film itu seram,” bilang Dini.

Menurut produser Rumah Pondok Indah yang juga bos Indika Entertaiment Shanker RS, jumlah penonton sebanyak itu sesuai perkiraan. Di tayangan behind the scene film itu Shanker berani sesumbar kalau filmnya bakal disesaki penonton. “Saat itu saya bilang, minta maaf bila nanti timbul ketidaknyamanan saat menonton karena mesti mengantre karcis,” bilang Shanker yang dihubungi Bintang via telepon Rabu (12/4) malam.

Shanker mengaku membuat Rumah Pondok Indah dengan dana 4 miliar rupiah. Sebenarnya, angka itu terkesan terlalu dibesar-besarkan. Jika melihat hasil akhir filmnya, Rumah Pondok Indah dibuat dega kamera digital seadanya yang di-blow-up ke pita seluloid 35 milimeter (hal ini dibantah Shanker. Katanya, “Rumah Pondok Indah direkam dengan kamera high definition.”). Bila benar film itu dibuat dengan kamera digital biasa, filmnya paling besar menelan dana sekitar 2 miliar rupiah. Dengan penonton 625 ribu orang, Indika sudah dapat uang sekitar 4,3 miliar rupiah.

Sebenarnya, bukanlah hal istimewa kalau film bertema horor dapat banyak penonton. Sepanjang sejarah perfilman negeri ini, film horor selalu tergolong jadi film laris. Genre ini pun sudah tua. Hanya selang setahun setelah teknologi film ditemukan pada 1985, lahir film horor pertama Le Manoir du Diable (1986) buatan Georges Melies. Ia membangkitkan hantu-hantu dari kuburnya. Di Indonesia sendiri, menurut catatan JB Kristanto di buku Katalog Film Indonesia 1926-2005, yang disebut-sebut film horor pertama yakni Lisa (1971) karya sutradara M. Sharieffudin (ada juga yang menyebut film horor pertama itu Tengkorak Hidoep keluaran 1941). Konon, Lisa tak terlalu sukses di pasaran. Namun, ia jadi peletak dasar buat genre ini. Sejak itu, di mata pecinta film tanah air muncul genre baru buat pilihan menonton.

Genre ini mulai jadi pilihan pembuat film. Di tahun 1970-an film-film bertema horor bermunculan. Puncaknya, terjadi pada dekade 1980-an. Tak kurang sekitar 69 judul film horor buatan anak negeri sendiri disuguhkan ke khalayak. Hasilnya tak megecewaka. Bahka genre ini medatangka banyak penonton. Film macam Nyi Blorong atau Sundel Bolong laris manis ditonton orang. Bintangnya, Suzzanna ditasbihkan jadi ratu film horor—gelar yang seakan tak tergantikan hingga kini.

Setelah Jelangkung lahir, genre horor berkembang dari legenda misteri tradisional ke legenda urban (urban legend). Nah, kisah misteri sebuah rumah di kawasan Pondok Indah tergolong legenda urban. Hal itu mengundang rasa ingin tahu orang kala kisahnya diakat ke layar lebar. “Alasan kami menonton film itu pengin tahu saja kisahnya seperti apa,” kata Dini. Rasa ingin tahu rupanya begitu besar mengendap di enak orang. Hingga berbagai resensi yang mempertanyakan kualitas film itu tak dihiraukan.

Melihat kesuksesan Rumah Pondok Indah, Shanker langsung berniat mengangkat legenda urban lainnya ke layar lebar. Tak tanggung-tanggung, Shanker sedang menyiapkan lebih dari satu film horor berbasis legenda urban. Pada Bintang, Shanker berujar akan membuat film tentang mitos Rumah Kentang, Pastur Jeruk Purut, hingga Rumah Ambulans di Bandung. Kita lihat saja nanti filmnya seperti apa. ***

Artikel Film Soal Cameo di Sinema Indonesia

Penampilan Cameo di Film Indonesia Makin Riuh


Kalau rajin nonton film Indonesia, pasti sering menemuka cameo di mana-mana. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Oleh Ade Irwansyah

Wajah yang tak asing itu muncul di layar. Ia duduk di antara dua wanita, Salma (diperankan Jajang C. Noer) dan seorang aktivis perempuan (diperani Dewi Irawan). Ia tengah membawakan talk show. Hari itu temanya seputar poligami. Salma hadir sebagai perempuan yang pro poligami, perempuan satu lagi bersikap anti poligami. Nah, wanita yang wajahnya tak asing itu seakan jadi penengah. Wanita itu Maudy Koesnaedy.

Potongan adegan itu muncul di film Berbagi Suami. Selain Maudy, film itu disesaki orang-orang berwajah familiar bersliweran. Ada Alvin Adam dan Lula Kamal yang menggosipi Salma di rumah sakit, Ikke Nurjanah menyanyi diawal film, Laudya Chintya Bella menangis sambil bawa bayi di akhir segmen Salma, hingga Aming jadi supir taksi. Kalau kenal siapa saja sineas tanah air, Anda pasti langsung tahu begitu Joko Anwar muncul di film ini (salah seorang pria gemuk berkacamata yang mengaudisi Ming). Atau, kalau Anda kenal kru film ini, beberapa di antara mereka muncul di Berbagi Suami (buat wartawan yang sering berhubungan dengan Kalyana Shira, rumah produksi pembuat Berbagi Suami, penampilan paling jelas saat Ade, publicist Kalyana, jadi awak studio teve tempat talk show yang dibawakan Maudy).

Apa yang kita lihat di atas rasanya jadi hal lazim film Indonesia mutakhir. Kalau Anda terbilang pecinta film nasional yang tak melewatkan setiap film yang beredar buat ditonton, pasti melihat kecenderungan itu. Film Indonesia sekarang bertabur cameo di mana-mana. Bila ingin menyebut beberapa saja, misalnya, di Ekspedisi Madewa, ada Luna Maya jadi mahasiswa. Sedangkan di Garasi, kita lihat sekelabatan orang-orang musik macam pengamat musik (Denny Sakrie) hingga pemain musik (band Cokelat, Iwa K, hingga /Rif). Atau di Ketika (2005, filmnya Deddy Mizwar), ada Rano Karno jadi supir taksi yang mengingatkan kita pada film Taksi yang dibintanginya dulu. Vina Bilang Cinta (2005) juga bertabur cameo, di antaranya ada Iwa K, Vina Panduwinata, Andi Riyanto, Memes, sampai Nania jebolan Indonesian Idol. Sebelumnya, di Arisan! (2003) kita melihat sekelebatan Nicholas Saputra dan Dian Sastro serta Ria Irawan. Sementara itu, di Andai Ia Tahu (2002) kita lihat Ikang Fawzi.

“Makin ke sini, cameo makin banyak,” simpul Ekky Imanjaya, kolumnis di situs Layarperak. Ekky sendiri pernah muncul jadi cameo buat film Kejar Jakarta (2005). “Syutingnya seharian,” bilangnya. Jika ditilik dari maknanya, situs ensiklopedi Wikipedia mendefinisikan cameo appearance (penampilan cameo) sebagai kemunculan sebentar dalam sebuah drama atau bentuk seni pertunjukkan lainnya seperti film atau serial teve. Penampilan sebentar itu tak hanya diisi aktor yang sudah punya nama, melainkan bisa pula diisi sutradara, politikus, atlt, mapun selebriti terkenal lainnya. Cameo biasanya tak muncul dalam credit title karena cuma muncul singkat—bahkan perannya mirip figuran. Cameo bisa pula sebentuk penghargaan buat seseorang atas konribusinya di masa lampau; misalnya, aktor jaman dulu yang diajak main jadi cameo di film remake filmnya terdahulu.

Tradisi cameo di Hollywood menular ke Indonesia
Di Hollywood sana, cameo sudah jadi hal lazim. Umurnya pun nyaris sama tuanya dengan umur perfilman itu sendiri. Cameo sudah muncul saat era film bisu masih berlangsung. Salah satu penampilan cameo pertama terdapat di film Entr’acte keluaran 1924. Film musikal balet karya Rene Clair itu menampilkan Erik Satie, komposer dan pianis musik klasik Prancis yang jadi penata musik balet fim itu. Selanjutnya, oran terkenal silih berganti jadi cameo. Film komedi It’s Mad, Mad, Mad World (1963), misalnya, menampilkan cameo bintang-bintang era itu seperti Jim Backus, Jack Benny, Sterling Holloway, Buster Keaton, Don knotts, Jerry lewis, dan Three Stooges. Bila ingin menyebut film era sekarang, misalnya, ada Brad Pitt muncul sebentar di Confessions of a Dangerous Minds. Sedangkan Michael Jackson muncul di Man in Black II. Sementara itu Austin Powers in Goldmember diisi cameo bintang tenar macam Tom Cruise, Gwyneth Paltrow, Kevin Spacey, Britney Spears, dan John Travolta.

Yang menarik, menyimak sutradara jadi cameo. Yang fenomenal penampilan cameo sutradara legendaris Alfred Hitchcock. Hampir di setiap filmnya, Hitchcock muncul jadi cameo. Belakangan, kebiasaan ini jadi semacam kesenangan tersendiri buat penonton. Sambil menyimak cerita tegang yang disuguhi Hitchcock, penonton mencari-cari kapan sosoknya muncul sekelebatan. Belakangan, sutradara lain juga tampil di film buatannya sendiri. Termasuk di Indonesia. Joko Anwar muncul di filmnya sendiri, Janji Joni (2004); Thomas Nawilis muncul dua kali di film buatannya sendiri, Gue Kapok Jatuh Cinta; sedangkan Hanung Bramantyo muncul di bagian akhir Jomblo.

Buat pengamat film Eric Sasono, cameo bukanlah hal yang mesti yang diributkan. “Itu hal biasa,” katanya. Baginya, penampilan cameo bukanlah bagian penting dari sebuah film. “Fokus utama tetap pada penceritaan,” ujar Eric. Kendati cerita tetap jadi fokus utama, sekarang makin banyak film pakai cameo. “Cameo bisa jadi nilai tambah daya jual sebuah film,” kata Ekky. “Ada kecenderungan di film maker kita, rasanya hebat kalau filmnya pakai banyak cameo. Itu artinya, ia punya banyak teman artis.”

Alasan pakai cameo
Memang, kebanyakan pembuat film memakai cameo selebriti teman-temannya sendiri. Hal itu diakui Nia Dinata, sutradara Arisan! dan Berbagi Suami. “Saya lebih senang pakai cameo teman-teman saya ketimbang pakai figuran tak dikenal,” aku Nia. Alasannya, Nia bilang, “Saya tak mau beli kucing dalam karung.” Memakai figuran yang tak dikenal, ia ibaratkan seperti itu. Artinya, Nia tak tahu kualitas akting figuran-figuran tak dikenal. “Saya pernah punya pengalaman buruk dengan figuran. Mereka malah merusak film saya, mebuang-buang rol film, cuma buat mengarakan mereka. Mending pakai aktor terkenal yang ketahuan jelas kualitas aktingnya,” jelas Nia panjang. Ia mencontohkan buat mensyut adegan wanita yang berselingkuh di toilet di Arisan!, Nia memakai Ria Irawan. “Ria langsung tahu saya maunya apa, tak perlu diarahkan macam-macam. Kalau pakai figuran pasti merepotkan,” ujar Nia.

Sementara itu, buat Joko Anwar film yang pakai cameo teman-teman artis sendiri terjadi lantaran bujet film yang dimiliki si pembuat film rendah. “Kalau pakai teman-teman itu bisa nggak perlu bayar,” katanya. Selain memakai cameo teman-temannya, Joko juga meminta beberapa krunya ikutan main. Buat urusan bayar-membayar para figuran ternama itu memang dibayar a la kadarnya. “Kami bayar seperti pakai figuran biasa. Kalau kami punya bujet syuting hari itu jumlahnya sekian, ya kami beri sejumlah itu,” ungkap Nia. Jika demikian adanya tren cameo rasanya takkan berhenti. Hanya saja, kata Joko, cameo paling tepat buat film-film aksi atau komedi. “Buat film serius rasanya nggak pas kalau ada cameo,” katanya. Ia mencontohkan, tak ada cameo di film 9 Naga maupun film-film Garin Nugroho yang terhitung film seni. “Kalau ada bakal merusak isi film itu,” ujar Joko.***
Dimuat Bintang Indonesia No. 781/tahun xvi/minggu kedua April 2006

Friday, April 14, 2006

Banyak Film, Penonton Sedikit

Banyak Film Beredar, Tapi Penonton Seret

Hingga bulan ini tak kurang sudah 10 film nasional beredar tahun ini. Tak semuanya dapat penonton. Film apa yang paling banyak ditonton hingga saat ini?

Oleh Ade Irwansyah

Di bulan Maret yang baru lewat kemarin, insan film tanah air merayakan hajatan besar: hari film nasional. Hari itu jatuh 30 Maret. Pada hari itu, di tahun 1950, Usmar Ismail memulai syuting film berjudul Darah dan Doa (The Long March). Film itu jadi film pertama yang diproduksi seluruhnya oleh anak negeri sendiri. Usmar Ismail jadi sutradara sekaligus penulis skenario. Kru lainnya juga orang Indonesia. Film itu juga dibuat perusahaan milik Usmar, Perfini. Setahun sebelumnya, Usmar memang membuat Tjitra dan Harta Karun, tapi film itu masih banyak dicampuri orang Belanda yang jadi produser dan juru kamera.

Setelah lewat dari 56 tahun, dunia perfilman nasional mengalami pasang surut. Film nasional pernah mengalami booming pada 1970-an hingga kemudian mati suri selama lebih dari 10 tahun pada 1990-an. Baru pada 2000-an film nasional kembali bangkit diawali Jelangkung (1999) dan Petualangan Sherina (2000). Kedua film itu masing-masing memikat sekitar 1,6 juta orang datang ke bioskop. Sejak itu gairah membuat film bioskop kembali bangkit. Satu-persatu film nasional bermunculan di bioskop. Tahun ini bukan hal aneh lagi kalau di satu sineplek bisa nampang sekaligus lebih dari satu judul. Bahkan pernah suatu kali, belum lama dari sekarang, di satu sineplek yang memajang 6 layar, bisa 4 layar di antaranya diisi film Indonesia.

Hal itu dimungkinkan lantaran hampir setiap pekan nongol film Indonesia. Perhatikan saja, sejak 9 Naga rilis Januari kemarin, film-film nasional beredar silih berganti. Setelah 9 Naga muncul Garasi, Realita Cinta dan Rock n Roll, Gue Kapok Jatuh Cinta, Jomblo, Jatuh Cinta Lagi, Ekspedisi Madewa, Rumah Pondok Indah, Ruang, dan terakhir Berbagi Suami.

Belum ada yang tembus 1 juta penonton
Lantas, apa hal itu jadi pertanda kalau kegairahan film nasional sedang meninggi? Bolehlah bilang begitu. Menurut pengamat film Eric Sasono, setelah melihat kesuksesan film-film nasional seperti Ada Apa dengan Cinta? maupun Eiffel I’m in Love, timbul kegairahan membuat film dari sineas tanah air. Namun demikian, hal itu rupanya tak sebanding kegairahan menonton di masyarakat. Rasanya, belum ada film yang meledak sampai ditonton 3 juta orang seperti Eiffel I’m in Love 3 tahun lalu. Terakhir, film yang ditonton 1 juta orang antara lain cuma Virgin (2005) dan Apa Artinya Cinta (2005). Film Virgin yang dibintangi Laudya Chintya Bella ditonton 1,4 juta orang. Sedangkan Apa Artinya Cinta yang kembali mempertemukan Shandy Aulia dan Samuel Rizal (duet ini sebelumnya bertemu di Eiffel I’m in Love) ditonton sedikit lebih banyak dengan jumlah sekitar 1,5 juta orang.

Menurut laporan yang diterima Bintang, sampai saat ini belum ada lagi film nasional yang tembus sampai 1 juta penonton. Angka itu pula rasanya tak pantas lagi jadi patokan sebuah film dikatakan laris—lantaran amat jarang terjadi lagi. “Sekarang dapat 200-300 ribu penonton saja sudah bagus,” ujar wartawan film senior Yan Widjaya pada Bintang, Selasa (28/3) malam. Gejala ini secara terpisah dibilang Eric lantaran, “pasar penonton film Indonesia belum tumbuh benar,” katanya. “Belum ada ledakan penonton seperti pada 2001, 2002, atau 2003.”

Eric juga bilang, penonton Indonesia itu paling susah ditebak apa maunya. Disuguhi film-film dengan tema beragam penonton tanah air tetap ogah-ogahan menonton. “Akhirnya, para produser seperti main tebak-tebakan,” ujar Eric, “Mereka lempar satu film, lalu menebak-nebak kira-kira disukai atau tidak.” Lantas film apa yang paling disukai penonton Indonesia di tahun ini? Berdasar data yang dihimpun Bintang, film horor Rumah Pondok Indah produksi Indika Entertainment, paling banyak menangguk penonton. Angkanya, 550 ribu penonton. Ini tergolong angka fantastis. Sebab, filmnya dibuat seadanya dengan kamera digital. Dana pembuatannya tak sampai 2 miliar rupiah. “Produsernya sangat surprise,” bilang Yan Widjaya, “Dia bilang pada saya, setelah mencapai 300 ribu penonton dia sudah pasrah. Ternyata filmnya malah diputar terus.” Sampai pekan kemarin, Rumah Pondok Indah sudah beredar 6 minggu sejak pertama dirilis akhuir Februaeri kemarin. Di bawah Rumah Pondok Indah ada Jomblo yang sudah ditonton sekitar 400 ribu orang. Di bawahnya lagi ada Realita Cinta dan Rock anfd Roll yang sudah ditonton sekitar 300 ribu orang.

Film siap edar April dan Mei
Selain ketiga film di atas, hampir semua film Indonesia yang beredar sampai Maret kemarin tak banyak ditonton orang. Angka penonton film-film itu rata-rata tak sampai 100 ribu penonton. Jika demikian adanya, bisa jadi kegairahan produser membuat film bisa surut. Sebab, siapa lagi yang mau mengeluarkan uang sampai 7 miliar rupiah untuk membuat film, sementara penontonnya cuma 100 ribu orang? Hitung-hitungannya begini: dengan keuntungan dari tiket rata-rata 7 ribu rupiah, lalu dikali 100 ribu penonton, produser cuma dapat uang tak lebih dari 700 juta rupiah. Jika sudah begitu, menurut Yan Widjaya, hampir pasti uang produser takkan balik selamanya. “Nggak akan pernah sampai BEP (break event point, titik impas),” katanya. Lantas, ada kecenderungan dari produser untuk menekan bujet pembuatan film tak sampai 3 atau 4 miliar rupiah. “Hal itu sudah dilakukan beberapa produser,” bilang Eric. Dengan bujet sejumlah itu, produser bisa sampai titik impas bila filmnya ditonton minimal 300 ribu orang—syukur-syukur bisa sampai 500 ribu orang.

Namun ya itu tadi, penonton film Indonesia susah ditebak apa maunya. Kendati begitu, bila menilik genre 3 film laris saat ini yang disebut di atas, yang disuka penonton tetaplah film-film horor (Rumah Pondok Indah) dan film-film remaja (Jomblo, Realita Cinta dan Rock and Roll). Jika film horor dan remaja masih diminati penonton, rasanya tema-tema itu akan semakin sering dibuat. Sampai akhir tahun nanti, kira-kira akan beredar 30-an judul film. Bulan April ini ada beberapa yang bakal liris—di antaranya Maskot. Namun, ramal Yan Widjaya film-film yang dirilis April ini pun rasanya takkan mampu menjaring banyak penonton. Yang patut ditunggu justru bulan Mei depan. Saat itu film Nirina Zubir dan Irwansyah berjudul Heart bakal beredar. Itu film kisah percintaan yang mendayu-dayu. Selain Heart, ada pula Red Lentern (Lentera Merah) yang disutradarai Hanung Bramantyo dan dibintangi Laudya Chintya Bella serta Ekskul yang disutradarai Nayato Fionuala. Kita lihat saja apa film-film itu mampu bicara banyak.***

Resensi Film "Berbagi Suami"

Berbagi Suami

Mengangkat Realitas Poligami di Masyarakat


Oleh Ade Irwansyah

Ini kisah tentang 3 wanita. Wanita pertama Salma (Jajang C. Noer), seorang dokter ahli kandungan yang bersuamikan seorang politisi (?) sekaligus pemuka agama yang dipanggil Pak Haji (El Manik). Wanita kedua Siti (Shanty), seorang gadis dusun yang hijrah ke kota, dan mesti menetap bersama Pak Lik-nya (Lukman Sardi sekali lagi tampil bagus). Wanita ketiga bernama Ming (diperani Dominique, pendatang baru yang mencuri perhatian), seorang gadis keturunan China nan seksi yang jadi pelayan restoran bebek panggang milik Koh Abun (Tio Pakusadewo).

Salma digambarkan sebagai sosok istri yang taat dan setia pada suami—sesuai tuntutan agama. Termasuk saat suaminya memilih poligami, menikahi wanita lain bernama Indri (Nungky Kusumastuti). Dalam hati ia marah. Tapi Salma tak sampai meminta cerai. Hanya, setiap kali masuk ke rumah, Salma meminta Pak Haji mandi besar lagi. Ia sesekali hanya menyindir Pak Haji. Sikap itu membuat anak Salma, Nadim (Winky Wiryawan) jadi apatis. Ia tahu ibunya diperlakukan tak adil. Nadim amat menentang poligami. Suatu kali, Pak Haji diserang stroke. Ia lumpuh. Salma berpikir inilah saatnya ia bisa memiliki suaminya seutuhnya, merawatnya. Nyatanya tidak. Istri-istri Pak Haji yang lain (belakangan ketahuan Pak Haji punya istri lain selain Salma dan Indri) berebutan ingin merawat Pak Haji. Rumah Salma jadi riuh. Pak Haji yang tak berdaya dikelilingi istri-istrinya yang setia merawat. Sebuah pemandangan absurd. Salma dan Nadim hanya bisa saling pandang. Bahkan saat Pak Haji akhirnya meninggal. “Abah (Bapak) memang paling suka memberi kejutan, ya?” kata Nadim.

Nasib Siti lain lagi. Ia diajak Pak Lik-nya ke Jakarta buat mengubah nasib. Sebenarnya, Siti termakan omongan Pak Lik. Pria berkumis tebal itu ternyata cuma sopir sebuah rumah produksi—bukan artis sinetron atau bintang film. Tapi, Siti sudah telanjur sampai Jakarta. Ia cuma punya Pak Lik tempat berlindung. Di rumah Pak Lik, Siti menemukan pemandangan lebih absurd lagi. Pak Lik hidup bersama kedua istrinya, Sri (Ria Irawan) dan Dwi (Rieke Dyah Pitaloka). Semuanya hidup berdesakan dalam rumah sempit bersama anak-anak dari Sri dan Dwi. Secara bergantian Pak Lik tidur bersama istri yang ia inginkan. Belakangan ketahuan maksud Pak Lik mengajak Siti ke kota: Siti akan jadi istri ketiganya. Saat menikah Siti cuma bisa menangis. Pak Lik tersenyum puas. Maka, Siti pun menjalani ritual seperti kedua istri lainnya, bergiliran melayani nafsu birahi Pak Lik.

Sementara itu masih ada Ming yang harus diceritakan. Di restoran tempatnya bekerja, Ming disukai majikannya, Koh Abun. Ming diam-diam jadi kekasih Koh Abun. Ia begitu disayang Koh Abun. Sampai-sampai Koh Abun membelikan Ming apartemen dan mobil. Saat istri Koh Abun, Cik Linda (Ira Maya Sopha) pergi ke Amerika menemui anak-anaknya, Ming makin sering bersama Koh Abun. Ming melupakan seorang sutradara muda yang juga mencintainya. Namun, kebahagiaan Ming berakhir kala Cik Linda tahu. Ming diusir dari apartemennya.
Baik Salma, Siti, dan Ming disatukan nasib: sama-sama jadi korban poligami kaum Adam.

Kedukaan wanita-wanita itu yang ingin disampaikan Nia Dinata lewat film terbarunya Berbagi Suami—setelah Ca Bau Kan (2002) dan Arisan! (2003). Konon, Nia yang jadi sutradara dan penulis skenario serius meriset fenomena poligami selama 1,5 tahun. Riset selama itu menggiring Nia pada kesimpulan tak hanya mengangkat satu cerita dari sisi kehidupan poligami. Tapi 3 sekaligus. Masing-masing dengan realitasnya sendiri-sendiri.

Syahdan, cerita pun dibagi dalam 3 segmen. Segmen pertama berakhir saat Pak Haji meninggal dunia. Segmen kedua berakhir kala Siti dan Dwi kabur mengajak anak-anaknya dari rumah Pak Lik, meninggalkan Sri yang memanggil-manggil. Keabsurdan lain muncul di rumah itu saat Siti dan Dwi menunjukkan rasa saling tertarik. Benih-benih cinta tumbuh di antara mereka. Sementara itu, segmen ketiga berakhir saat Ming kembali hidup di kontrakan sempit. Membagi cerita dalam beberapa segmen bukan yang pertama dilakukan sineas negeri ini. Sebelumnya, 4 sutradara muda negeri ini (Rizal Mantovani, Nan T. Achnas, Mira Lesmana, dan Riri Riza) pernah mencoba mempraktekkannya dalam Kuldesak (1999). Film yang dianggap penanda kebangkitan film nasional itu membagi film dalam 4 cerita yang tak saling berkaitan. Kini, cara serupa dipakai Nia.

Sebelumnya juga, sutradara Steven Soderberh membagi cerita seputar realitas peredaran narkoba dari AS ke Meksiko lewat Traffic (2000) dalam 3 kisah berbeda. Tak ada kaitan antar cerita, para tokoh hanya sekelebatan muncul di segmen cerita lain. Buat membedakan ketiga cerita itu, Soderbergh membagi kisahnya dalam 3 warna berbeda. Ada warna keemasan, sepia, dan biru. Walau cerita berganti-ganti, penonton tak kelelahan mengikuti. Editing film ini begitu prima. Nia tak mengadopsi cara Soderbergh. Bisa jadi Nia tak cukup percaya diri, takut penonton bingung mengikuti alur cerita. Rupanya Nia terlalu sayang pada pesan yang ingin ia sampaikan. Lewat Berbagi Suami, ia ingin menyampaikan realitas poligami yang ada di masyarakat. Pesannya, poligami ya merepotkan, poligami ya membuat wanita menderita, poligami (dalam bentuknya pada segmen kedua) bisa menggiring wanita jadi lesbian! Pesan-pesan itu mungkin akan terasa berat bila disampaikan dengan penceritaan serius. Namun, dengan jenial Nia membalutnya jadi komedi satir. Walhasil, Anda akan dibuat tertawa getir, kemudian memikirkan maknanya dalam-dalam. Menonton Berbagi Suami Anda disuguhi hiburan berisi yang lengkap. Cerita yang baik, skenario yang bagus, dan para pemain yang berakting hampir sempurna wujud keberhasilan Nia sebagai sutradara atas filmnya ini. Berbagi Suami satu tingkat lebih bagus ketimbang Arisan! dan berkali-kali lebih bagus dibanding Ca Bau Kan. ***
Dimuat Bintang Indonesia edisi 779/Tahun XV/Minggu kedua Maret 2006

Wednesday, April 12, 2006

Resensi Film "Rumah Pondok Indah"

Rumah Pondok Indah
Mengangkat Legenda Urban Rumah Hantu
Oleh Ade Irwansyah
Era kebangkitan film horor nasional boleh jadi ditandai kesuksesan Jelangkung (2001). Film itu dibuat seadanya oleh duet sutradara yang biasa membuat video klip, Rizal Mantovani dan Jose Poernomo. Tanpa promosi besar-besaran, Jelangkung mampu menyihir 1,3 juta orang datang ke bioskop. Sukses itu membuat banyak orang percaya kalau film horor masih punya tempat di hati penonton. Jelangkung disandingkan jadi film horor legendaris setelah film-film Suzanna. Sukses Jelangkung juga menyulut istilah baru: urban legend—legenda urban alias perkotaan. Ternyata, bukan cuma Pantai Selatan Jawa yang punya mitos mistis (ingat, dong Nyi Roro Kidul). Kota megapolitan Jakarta juga punya Suster Ngesot.
Nah, salah satu legenda urban itu di antaranya sebuah rumah angker di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sekitar September 2002, ada cerita seorang tukang nasi goreng raib di depan rumah tak berpenghuni itu. Cerita lain, ada supir taksi yang ditolong penghuni rumah kala taksinya mogok di depan rumah itu. Cerita-cerita seram itu mengundang orang tertarik melihat rumah kosong itu. Jalanan depan rumah kontan jadi macet. Legenda urban itu kemudian diangkat ke layar lebar jadi Rumah Pondok Indah.
Alkisah, sepasang suami istri, Rudi (Rama M. Nalapraya) dan Misye (Selvi Rani K), serta putra tunggal mereka, Rio (Nathan Dippos Fajar) menempati sebuah rumah mewah tak berpenghuni di kawasan Pondok Indah. Rio dan Misye membeli rumah lengkap dengan isinya—termasuk sebuah patung wanita. Sejak awal sudah kelihatan tanda-tanda kalau rumah itu angker, misalnya, melihat hantu tukang nasi goreng. Kemudian, ada pula Mimin (Arie Timmy), sang pembantu berseragam hitam yang punya gerak-gerik mencurigakan.
Patung wanita di rumah itu rupanya menyimpan misteri. Matanya menitikkan air mata darah. Suatu kali, Rio tewas tersetrum saat tengah main di dekat patung itu. Rudi dan Misye segera melarikan Rio ke rumah sakit. Sayang saat baru keluar rumah, mobil mereka diterjang bus Metromini. Rumah itu kembali tak berpenghuni.
Syahdan, ada lagi yang menginginkan rumah itu, Firdha (Chintami Atmananegara), seorang ibu beranak dua, Elsie (Asha Shara) dan Ian (Ricky Harun). Ia langsung mau menempati rumah itu saat tawaran sekenanya (cuma 500 juta rupiah dari tawaran semula 5 miliar rupiah) disetujui pemilik aslinya, Tio (Arswendi Nasution), pematung yang tinggal di Bali. Setelah tinggal di rumah itu, Elsie mulai merasa ada keanehan. Ia merasa dihantui makhluk halus. Sementara itu, adiknya Ian malah sering menjahili Elsie yang mudah ketakutan.
Kemudian, setelah berkali-kali hantu rumah itu menampakkan diri, Elsie karasukan. Ia dirasuki sosok Maya (Amelia) yang berasal dari patung wanita di rumah itu. Dokter menganggap Elsie sudah sakit jiwa. Atas saran Mimin, Elsie ditolong seorang dukun (Titi Qadarsih). Dari situ terkuak misteri kematian Maya yang melibatkan Tio dan patung wanita di rumah itu.
Dari awal penonton sudah diberi kesan kalau ini film seram. Banyak adegan yang berlangsung malam hari. Musik horor menghentak setiap kali ada adegan yang bikin kaget. Parahnya, adegan macam ini ada banyak. Irwan Siregar, sang sutradara, rasanya digaji khusus buat bikin kaget orang. Ini yang membuat tontonan terasa dangkal: menakut-nakuti orang ya dengan membuatnya kaget. Oleh karena itu, sampai-sampai ada peringatan di poster film ini yang bilang kalau penderita penyakit jantung dan ibu hamil sebaiknya jangan ikutan nonton (mirip iklan rokok saja, ya).
Di luar hal-hal yang bikin kaget, Rumah Pondok Indah tak memberi alasan lebih untuk membuat orang berduyun-duyun datang menonton seperti Jelangkung dulu. Akting para pemainnya, sorry to say, masih kelas sinetron. Dibuat-buat alias tidak alami. Belum lagi kamera digunakan bukan seluloid. Selain itu, banyak bagian film ini yang menghilangkan segi logika. Kakak beradik Elsie dan Ian, misalnya, tak pernah kelihatan sekolah. Main melulu, padahal tak ada penjelasan kalau ceritanya berlangsung saat liburan sekolah. Kemudian, para pemainnya tetap berdandan menor meski sedang tidur di malam hari. Hal-hal seperti ini membuat Rumah Pondok Indah terasa seperti FTV (film televisi) yang diputar di bioskop. Yang terasa beda mungkin beberapa adegan panas yang mulai jarang kita saksikan di film nasional, kini muncul lagi di Rumah Pondok Indah. hal in patut dapat catatan khusus. Di tengah riuh-rendah gerakan anti pornografi dan pornoaksi masih ada film yang berani menyelipkan adegan seks yang terbilang hot. Tapi, jangan dulu bersemangat buat menonton film ini bila cuma ingin melihat adegan panasnya. Sebab, alih-alih terangsang, Anda malah jadi jijik. Coba, siapa yang tak jijik melihat perempuan melumat tangan pria yang kotor setelah membuat patung dari adonan semen.
Dimuat Bintang Indonesia edisi 775/Tahun XV/Minggu Keempat Februari 2006