Friday, August 11, 2006

Resensi "Mendadak Dangdut"

Mendadak Dangdut

Suguhan Menghibur dari Rudi Soedjarwo

Oleh Ade Irwansyah

tersebutlah Petris (Titi Kamal), seorang penyanyi pop terkenal. Ia dikagumi bukan hanya karena suara merdunya, tapi juga lirik-lirik penuh makna yang ia ciptakan. Kendati pintar, Petris sombong bukan main. Ia mempekerjakan kakaknya, Yulia (Kinaryosih), sebagai manajer. Petris memperlakukan kakaknya bak seorang babu yang bisa seenaknya disuruh-suruh.
Suatu kali, usai memperlihatkan sikap menyebalkan lewat sebuah wawancara radio, Yulia mengambil jalan pintas menuju rumahnya. Sial, rupanya polisi sedang merazia. Sialnya lagi, pacar Yulia, Gerry yang semobil bareng mereka, membawa narkoba. Sebelum disatroni polisi, Gerry kabur. Tak ayal lagi Petris dan Yulia jadi tersangka pemilik narkoba itu. Keduanya digiring ke kantor polisi.

Lantaran ngeri pada ancaman hukuman mati buat pemilik narkoba, Petris dan Yulia nekat kabur. Keduanya terdampar di sebuah perkampungan di pinggiran Jakarta. Tak ada yang mengenali Petris sebagai penyanyi pop ternama. Petris heran. Yulia cuma berujar pendek, “Nggak semua orang nonton MTV.”

Oke, nggak semua orang menonton MTV. Tapi, rasanya semua orang menonton infotainment. Walau tak pernah melihat video klip seorang artis, tak mungkin mereka tak pernah melihat seorang artis ternama muncul di infotainment.

Hmmm, jadi film ini dimulai oleh sesuatu yang kelogisannya diragukan. Tapi, jangan mengernyit atau mencibir dulu. Makin diikuti, film ini lumayan menghibur. Petris dan Yulia bergabung dengan sebuah grup organ tunggal bernama Senandung Citayam, pimpinan Rizal (Dwi Sasono). Biar tak terlacak polisi, Yulia mengganti nama Petris jadi Iis. Petris jadi penyanyi dangdut grup organ tunggal itu. Belajar dangdut rupanya tak mudah. Petris susah menimbulkan cengkok dangdut. Asal tahu saja, setelah belajar berkali-kali, Petris (baca Titi Kamal) masih belum kelihatan punya cengkok dangdut yang mantap. Ya, suara Titi belum dangdut banget. Tapi, sekali lagi, ini bukan film yang mengandalkan aktornya mesti sempurna bernyanyi dangdut. Titi dimaafkan.

Syahdan, Petris yang kemudian punya nama beken Iis Maduma jadi idola dangdut di pinggiran Jakarta. Tidak ada yang mengenalinya, walaupun berita soal Petris muncul di banyak tabloid. Hmmm, rupanya tak ada orang kampung yang baca tabloid. Duh, sedemikian parahkah tingkat melek huruf orang Indonesia? Tabloid, alih-alih dibaca, malah diubah jadi kapal mainan dari kertas.

Oke, satu lagi kekuranglogisan di film ini. Tapi, jangan mengernyit dulu. Kita disuguhi kalau Petris yang sukanya main suruh-suruh, bergaya bossy, lantas tersadar kalau orang lain yang selama ini membantunya amat berarti. Petris yang acuh tak acuh jadi perasa. Lewat rangkaian gambar yang disuguhi Rudi dan dialog khas film-film Hollywood yang ditulis Monty Tiwa, Anda diajak tertawa sekaligus menangis. Rudi dan Monty menutup filmnya dengan hal melankolis. Petris menyerahkan diri ke polisi. Gambar disyut Rudi dengan gaya mirip filmnya terdahulu, Mengejar Matahari dan 9 Naga. Agak berlebihan, sih. Tapi, sekali lagi, jangan mengernyit dulu. Sungguh, film ini menghibur. Segala ketaklogisan filmnya, maupun akting kaku polisi di awal cerita (ini jadi catatan tambahan buat sineas sini: jangan merekrut polisi sungguhan main film. Mereka selalu tampil kaku dan merusak film) bisa dimaafkan. ***
Dimuat Tabloid BINTANG INDONESIA edisi 798.